RELEVANSI
IJTIHAD DI ERA KEKINIAN
Oleh;
Aley Abdolmoeez*)
Pendahuluan
Bertolak dari hadits ini, kita akan mendiskusikan bersama tentang
pentingnya peranan mujaddid atau mujtahid yang bisa memformulasikan
kembali hukum-hukum Islam, dengan relevansinya yang kekinian dan kedisinian.
Karena bagaimanapun juga, kegiatan ini sangat urgen mengingat dalam beberapa
madzhab fiqh banyak sekali ditemukan produk-produk hukum yang kurang bisa
diaplikasikan di beberapa tempat dan zaman. Peranan ijtihad dalam membangun
umat, baik dari segi ibadah atau mu’amalah dan lainnya, merupakan
keniscayaan yang harus disikapi bersama secara serius oleh para cendekiawan (fuqahâ)
sebagai langkah peremajaan dan memformulasi kembali wajah fiqh dari generasi ke
generasi.
Ijtihad adalah harga mati yang harus tetap dilakukan dan digalakkan
sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman yang disesuaikan dengan realitas
kekinian dan kedisinian, sehingga aktivitas ijtihad sangatlah urgen demi
menjadikan Islam -sebagai agama yang lahir pada abad VI masehi itu- mampu
menembus ruang dan waktu, sehingga Islam adalah undang-undang yang shâlih
fî kulli zamân wa makân.
Sejauh pentingnya peranan ijtihad itu, maka dituntut agar
hukum-hukum yang diproduksi via ijtihad tetap orisinil dan steril dari pengaruh
hawa nafsu dan kepentingan individu atau golongan. Oleh karena itu, para ulama
membuat benteng yang kokoh dengan meletakkan syarat-syaratnya yang ketat,
sehingga kaum liberalis banyak melakukan kajian kritis atas syarat-syarat
tersebut yang berujung pada tuduhan terhadap Imam al-Haramain (w. 478H) sebagai
orang yang telah mengebiri Islam yang berimplikasi pada kejumudan, bahkan pada
kemundurannya([2]).
Mengapa harus al-Haramain? Karena ialah orang pertama yang berbicara
lantang tentang syarat-syarat seseorang yang berhak untuk memproduksi hukum secara
selektif dan mustasyaddid, sehingga oleh mereka syarat-syarat itu
dianggap sebagai pengganjal kebebasan berijtihad. Namun, apapun yang dilakukan
al-Haramain adalah hal yang positif demi pencitraan dan orsinalitas
Islam dari pengaruh hawa nafsu.
Ijtihad dan Mujtahid
Secara terminologis, ijtihad adalah mengerahkan kemampuan bagi
seorang faqih untuk menemukan hukum syar'i yang bersifat amaliyah
dan bukan hukum-hukum pasti (ahkâm al-qath’i)([3]).
Definisi ini sengaja diangkat tanpa mengenyampingkan definisi-definisi versi
lainnya karena melihat banyaknya pro-kontra para cendekiawan dengan berbagai
bahasa yang diungkapkannya. Sebagaimana terjadi pro-kontra pada cakupannya,
apakah hanya masalah syariah saja atau mencakup masalah-masalah 'aqliyyah
dan lughawiyyah juga?([4])
Sementara mujtahid adalah orang yang baligh, berakal, faqih,
dan berkompeten dalam mendeduksi hukum-hukum syara' dari dalil-dalil
yang tafshil dari sumber-sumber hukum Islam([5]).
Definisi ini hanya sebagai balance dengan ta’rîf di atasnya,
sehingga penulis menggabungkan dari berbagai sumber demi kesempurnaan definisi.
Ijtihad adalah aktivitas agung dan sangat berat, sebagaimana
komentar al-Sam'âni (w. 562 H) yang mengatakan ijtihad adalah aktivitas agung
yang mampu menggantikan fungsi wahyu pasca mangkatnya Rasulullah saw.([6]).
Senada dengan al-Sam’âni, al-Syâthibi (w. 790 H) juga mengukuhkan pendapat itu
sebagaimana terekam dalam al-muwâfaqât. Ia menyamakan posisi mujtahid
atau mufti sebagaimana posisi nabi dilihat dari tiga hal, diantaranya hadits
Nabi yang menyatakan ulama adalah pewaris para nabi, baik dari segi ilmunya
atau kewajiban untuk tablîgh kepada masyarakat([7]).
Namun, menjadi seorang mujtahid tidaklah semudah membalikkan
telapak tangan, sehingga banyak para generasi cendekiawan (thâlib al-‘ilm)
yang putus harapan untuk mengejar impian tertingginya sebagai pewaris nabi, al-‘ulamâ`
waratsat al-`anbiyâ([8]).
Sebagai bukti nyata, banyak generasi muslim yang lebih asyik menikmati
hukum-hukum instant yang sudah dikemas dalam fikih praktis madzhab dan sangat
menikmati status sosialnya sebagai muqallid yang kadang menjadikannya
sebagai muqallid buta.
Melihat realita itu, Majduddin ibn Daqîq al-‘Îed (625-702 H), Abû
Syâmah (599-665 H), Taqiyyuddin al-Subuki (w. 756 H), dan al-Dzahabi (w. 748 H)
terus memberikan semangat dan menumbuhkan rasa patriotisme sebagai generasi
muslim sehingga mereka mengatakan bahwa penyebab yang mendasar dalam kejumudan
ini adalah keengganan generasi muslim untuk bermimpi dan berusaha untuk
mewujudkan impiannya menjadi mujtahid. Mereka juga sangat menyayangkan sikap
tersebut, melihat perangkat ijtihad di era modern seperti ini sudah sangat
komplit, instant, praktis, dan mudah didapatkan ketimbang zaman-zaman awal([9]).
Komentar ini disambunglidahkan oleh aktivis gerakan anti-taklid yang dikawal
oleh beberapa ulama besar, seperti al-Syawkâni (w. 1250 H), Muhammad ibn Abdul
Wahhab, dan lain-lainnya.
Syarat-syarat Mujtahid
Predikat mujtahid memang simple, namun sangat sulit. Abu
Ishâq al-Syâthibi (w. 790 H) menerangkan bahwa predikat mujtahid bisa
didapatkan apabila seseorang mampu mempunyai dua hal pada dirinya, yaitu;
1. Memahami maqâshid
al-syarî’ah secara utuh dan sempurna.
2. Mampu
mendeduksi hukum dengan dasar pemahamannya atas maqâshid al-syarî’ah([10]).
Pemaparan ini sepintas kita bisa dengan mudah menyandang predikat
mujtahid dengan memahami maqâshid-nya saja. Namun banyak hal yang
sebenarnya menjadi hal yang lebih penting dari itu, diantaranya adalah memahami
pro-kontra para ulama, baik dalam satu madzhab atau antar madzhab. Wawasan khilafiyah
ini sebagai langkah antisipasi memporakporandakan konsensus ulama-ulama
terdahulu. Penguasaan terhadap bâb Qiyâs dan bâb Dalâlah juga
merupakah hal yang tidak kalah penting untuk merujuk kembali asal atau nash al-Quran
dan al-Sunnah.
Kebutuhan Ijtihad
Mufti Syafi'i Mesir, Dr. Ali Jum'ah dalam sebuah risalahnya yang
diberi nama dengan "Âliyyâh al-Ijtihâd" menyatakan bahwa di
era kekinian dan kedisinian ijtihad merupakan hal yang sangat diperlukan atau
sangat darurat dipandang dari dua sisi berikut([11]);
1. Sifat Dzanny
yang ada pada teks al-Quran dan al-Hadits.
Dengan keberadaannya yang bersifat dzanny al-dilâlah,
menuntut para mujtahid untuk selalu menguak makna atau maqâshid dari
teks tersebut yang masih banyak mengandung beberapa kemungkinan. Memang ijtihad
telah dilakukan oleh para cendekiawan abad permulaan, namun tidak menutup mata
hasil yang mereka gali merupakan kebenaran mutlak yang tidak bisa diganggu
gugat keputusannya mengingat mereka tidak ma’shûm.
2. Banyaknya
tuntutan atas modernitas zaman serta keterbatasan teks yang diturunkan oleh
pemilik Syariat.
Keterbatasan teks-teks hukum inilah yang menyebabkan para
cendekiawan untuk selalu berijtihad, sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali (w.
505 H) dan Ibn al-Arabi (w. 543 H) bahwa ayat-ayat al-Quran yang mengandung
hukum sekitar lima ratus ayat saja. Hanya saja klaim ini sebatas dzahir,
karena bagi orang yang punya intelektual dan kejeniusan yang tinggi dan
pemahaman terhadap al-Quran yang sempurna mampu mendeduksi hukum-hukum syariat
dari ayat-ayat qashash dan amtsal. Adapun mengenai jumlah al-Ahâdits
al-Ahkâm, para ulama terjadi perbedaan pendapat mulai dari lima
ratus sampai ribuan hadits, sebagaimana pendapatnya Ibn al-Arabi dan Ahmad ibn
Hambal (w. 241 H)([12]).
Dari kedua hal di atas, banyak kita lihat komentar para ulama
terdahulu yang terus menyuarakan adanya kebangkitan dan gerakan peremajaan
hukum yang dilakukan oleh anak-anak generasi masanya dengan memberikan suri
tauladan para pendahulu. Sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Haramain
dalam kitabnya, al-Burhân, bahwa banyak sekali fatwa para shahabat,
tabi'in, dan orang-orang setelahnya yang melakukan ijtihad dengan mendeduksi
hukum syariat dengan menggunakan metodologi Qiyâs. Hal ini karena sangat
terbatasnya teks-teks hukum dan banyaknya permasalahan yang mendesak untuk
diidentivikasi kejelasan hukumnya([13]).
Al-Syâthibi dalam al-Muwâfaqât juga menegaskan akan
pentingnya gerakan ijtihad. Ia mengatakan hal-hal baru yang belum diketahui
hukumnya dalam al-Quran dan al-Hadits tidak mungkin masuk dalam khithâb
atau dalil yang sangat terbatas, sehingga sangat diperlukan membuka kembali
pintu ijtihad dengan metode analogi (Qiyâs) atau lainnya. Hal ini didasari pada
ketidakmungkinan para cendekiawan meninggalkan umat Islam dalam kerusakan
dengan mengikuti ijtihadnya masing-masing yang masih kental dengan tuntutan
hawa nafsu dan sementara mereka orang yang bukan ahlinya([14]).
Kedua poin di atas, tulis Dr. Ali Jum'ah, merupakan hal yang sangat
mendasar atas pentingnya ijtihad di zaman sekarang ini, sebagaimana mendapatkan
dukungan dari beberapa ulama lainnya, seperti yang paling keras berteriak untuk
kembali melakukan re-ijtihad adalah Muhammad ibn Abdul Wahhab, Muhammad
al-Syaukâni, Muhammad Ghazâli, Dr. Imarah, dan beberapa ulama kontemporer
lainnya.
Klasifikasi Ijtihad
Al-Syâthibi dalam karya monumentalnya berbicara apa yang dilakukan
seorang mujtahid untuk mendeduksi hukum dari sumber-sumbernya dan syarat apakah
yang harus dipenuhi dalam ijtihadnya. Untuk memproduksi hukum maka seorang
mujtahid tidak diharuskan untuk memahami dan menguasai semua alat-alat ijtihad,
seperti wawasan khilafiyyah, penguasaan bahasa arab dan lain-lainnya.
Al-Syâthibi membagi ijtihad dalam 3 hal yaitu; tanqîh al-manâth, takhrîjul
manâth dan tahqîq al-manâth. Dalam hal ini, al-Syâthibî berkomentar
panjang-lebar mengenai langkah-langkah ijtihad dan syarat-syaratnya dalam
berbagai konteks permasalahan; seperti apabila hal itu tidak membutuhkan
wawasan-wawasan pendamping lainnya, maka seorang mujtahid hanya wajib meneliti
permasalahan itu dari segi maqâshid-nya saja tanpa harus pandai dan
memenuhi persyaratan mujtahid yang lainnya([15]).
Dr. Ramdhan Al-Buthi mengklasifikasikan gerakan ijtihad di era
kekinian kedalam dua bagian;
1. Ijtihad yang
hanya menjawab realitas yang sedang ada dan belum tersentuh oleh ranah wawasan
ulama-ulama terdahulu sementara produk-produk ijtihad ulama salaf ditetapkan
sebagai solusi atas problem yang masih relevan di era kekinian.
2. Ijtihad yang
merekam ulang dan mendaur ulang hasil-hasil ijtihad ulama salaf sehingga mereka
mampu mengamandemennya dan menghapusnya dari daftar-daftar ijtihad ulama, hal
ini karena dinyatakan tidak relevan sehingga perlu adanya amandemen hukum islam([16]).
Korelasi Mujtahid dengan Teks (Nash)
Sub judul ini sengaja penulis kemukakan karena nash
merupakan ladang yang digarap oleh para mujtahid. Mereka tidak lepas untuk
bergelut dengan teks, baik al-Quran atau al-Hadits, untuk merujuk dan
menjadikan sumber hukum dari permasalahan yang dikajinya. Karena itu, wajib
bagi seorang mujtahid memahami kaidah-kaidah lughawiyyah, disamping dua
syarat di atas yang dipaparkan al-Syâthibi.
Nash secara istilah bisa mempunyai lima makna, yaitu([17]);
1. Setiap yang
diucapkan dan bisa dipaham yang diambil dari al-Quran dan al-Hadits, baik dzahir,
nash, tafsir, hakikat, majaz, umum, maupun khusus.
2. Nash secara bahasa
adalah jelas atau tampak sehingga lafadz dzahir bisa disebut sebagai nash,
sebagaimana pendapat al-Syafi'i (w. 204 H).
3. Lafadz yang
tidak mungkin terjadi kemungkinan-kemungkinan lain dalam penafsirannya. Ini
adalah pendapat yang masyhur.
4. Lafadz yang
tidak mungkin terjadi kemungkinan-kemungkinan lain dalam penafsirannya yang
diperkuat oleh dalil.
5. al-Quran dan
al-Hadits.
Arti-arti di atas adalah arti nash atau teks menurut para
pemikir Islam masa lalu. Namun seiring dengan membukanya pintu taklid dan
tertutupnya pintu ijtihad, makna nash atau teks menurut kita orang awan
akan mengalami perkembangan dengan menambahkan satu makna yang sangat
mengganggu aktivitas ijtihad. Makna itu adalah setiap tulisan atau turâts
karya para ulama klasik -terhitung dari munculnya madzâhib sampai era
Imam ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H) dan Imam Ramli (w. 1004 H)-, baik
mereka mujtahid mutlaq atau tidak, seperti al-Syafi’i, al-Râfi’i (w. 623
H), al-Nawawi (w. 676 H), dan lain-lainnya. Hal ini dijadikan landasan para
ulama sekarang untuk mendeduksi sebuah hukum, padahal produk ijtihad mereka
bila diterapkan pada masa kekinian dan kedisinian pun mungkin banyak yang sudah
berubah, melihat adat istiadat ('urf) sebagaimana terjadinya perubahan
beda hukum tatanegara dan hubungan antar-negara, baik multilateral atau
bilateral. Apalagi kita sekarang dihadapkan pada slogan kembali pada sistem
Khilafah; Adakah aturan Islam tentang sistem negara yang ideal dan sesuai
dengan nash-nash Islam? Dari sinilah, Dr. Muhammad Imarah menyatakan
keabsurdan pemahaman teks (nash), sehingga slogan lâ ijtihâd ma'
al-nash sulit untuk diaplikasikan. Dengan adanya nash, maka ijtihad
tidak bisa lagi dijalankan dan ijtihad tidak bisa diwujudkan kecuali dengan tidak
adanya nash?([18])
Untuk menghilangkan kebingungan ini, maka nash disini harus
digarisbawahi dan dijelaskan apa makna nash yang sebenarnya sehingga
slogan itu bisa dinyatakan keabsahannya. Analisa ini bisa kita raba satu
persatu dari makna nash di atas, makna manakah yang tepat untuk
mengartikan lâ ijtihâd ma' al-nash?
Ijtihad Kontemporer
Ijtihad ini sudah digalakkan oleh rekan-rekan kita yang menamakan
dirinya sebagai Jamaah Islam Liberal, sebagaimana yang dilakukan oleh Muhammad
Sa'id al-'Asymawi dan Dr. Nashr Hamid Abu Zaid yang terus bebicara lantang
mengenai hal ini([19]).
Namun cara yang mereka lakukan kurang mendapat sambutan positif dari para ulama
lainnya karena metode yang dilakukan mereka dengan cara menggunduli
kaidah-kaidah ushuliyyah yang telah ditetapkan dan diamalkan beribu-ribu
tahun lamanya. Di antaranya adalah mereka mengkaitkan teks dengan realitas
sosial setempat pada waktu itu, sehingga mereka mencabut kaidah yang masyhur, al-'ibrah
bi 'umûm al-lafdz lâ bikhushûsh al-sabab ataupun mereka melakukan
tafsir-tafsir baru yang mereka sering sebut dengan tafsir hermeneutika. Namun,
apakah langkah-langkah tersebut bisa dibenarkan?! Begitulah, realitas yang
selama ini terus bergelayut dalam hati dan pikiran para akademisi lokal atau
internasional. Hemat penulis, sebagaimana yang sering diwacanakan oleh beberapa
pesantren di Indonesia dan dikukuhkan dengan komentar para cendekiawan Timur
Tengah, bahwa eksistensi ijtihad tidaklah harus dengan membredel alat-alatnya
juga, tapi cukup dengan mengembangkan dan menggali kembali maqâshid
al-syarî’ah sebuah kasus sehingga bisa menganalogikannya dengan kasus-kasus
yang sudah ada. Hal ini melihat komentar para ulama mengenai terma Qiyâs yang
begitu terbuka lebar untuk pintu ijtihad, terutama dalam madzhab Syafi’i.
Namun, apakah dengan metode Qiyâs kita bisa menjawab semua
tantangan?! Tentunya tidak, sehingga kita perlu menggunakan dasar-dasar lain (al-adillah
al-mukhtalaf fihâ) -seperti istihsân, istishlâh,
sadd al-dzarâi’, dan lain-lainnya- sebagai langkah darurat, sebagaimana
yang dijelaskan oleh Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam bukunya, al-Dlarûrât
al-Syar’iyyah. Hal ini juga kita bisa telisik dalam turâts-turâts
al-Syâfi’iyyah yang seringkali para mujtahid menggunakan dasar-dasar lain,
seperti istishlâh, istihsân, dan lainnya, walaupun Imam Syâfi’i
jauh-jauh dalam al-Risâlahnya berkomitmen anti-istihsân dengan
perkataannya yang masyhur, man istahsan faqad tasyarra’.
Pandangan simpel ini adalah langkah mudah untuk menggambarkan
aktivitas mujtahid kekinian, sehingga umat Islam tidak terlantar dalam
kerancuan hukum dan kebingungan. Memang aktivitas ijtihad di akhir-akhir ini
sama dengan pemandangan aktivitas ijtihad di awal-awal munculnya madzâhib,
dimana aktivitas itu hanya menjawab realitas saja (fiqh wâqi’i) serta tidak
mampu memberikan nuansa fikih yang penuh dengan pengandaian-pengandaian (fiqh
iftirâdli), sebagaimana yang dilakukan oleh para a`immah zaman
keemasan Islam.
Perumusan dibutuhkannya mujtahid-mujtahid baru adalah untuk menata
kembali hukum-hukum Islam, baik dari segi ukhuwwah Islamiyyah, sistem
bernegara yang dianut dan konteks-konteks lainnya yang masih menjadi problem
yang menjangkit semua generasi Muslim di seluruh belahan dunia. Bidikan ini
juga agar bisa menghilangkan wajah sangar Islam yang selama ini
terinveksi oleh terorisme dan membersihkan generasi Muslim dari hegemoni Yahudi
dan Nasrani.
Penutup
“JADI MUJTAHID?! SIAPA TAKUT…!” ya begitulah status dalam facebook
yang diunggah oleh rekan saya, sehingga penulis mencoba mengomentarinya lewat
tulisan ini di samping penulis mengangkat tema ini bertujuan untuk
mengembangkan kembali potensi yang kita miliki, sehingga kita tidak lagi
terkena phobia-mujtahid, mengingat mujtahid hanya dituntut untuk mencari
kebenaran hukum, bukan kebenaran menurut Allah swt., sebagaimana pendapat yang
dilontarkan oleh al-Muzâni (w. 264 H), karena kebenaran hukum menurut Allah
swt. adalah hal yang sulit diketahui dan hanya Allah yang tahu.
Diskusi ini juga diharapkan bisa memberikan "vonis", sudah
tepatkah langkah-langkah yang diambil oleh para aktivis ijtihad sekarang?
Minimal sebagai standar acuan tentang legal dan tidaknya seseorang melakukan
ijtihad di sini dan kini. Wallah A’lam.
Selamat atas
tumbuhnya mujtahid-mujtahid kecil!
0 Komentar