Ijtihad Hukum Bukan untuk Sembarang Orang


Oleh: Ahmad Riski

Ijtihad bukan pekerjaan mudah yang bisa dilakukan siapa saja, di sana ada banyak syarat dan kriteria yang mesti terpenuhi dalam diri seorang mujtahid (orang yang berijtihad).

Hasil ijtihad yang bersumber dari yang bukan ahlinya dapat menyebabkan lahirnya hukum yang bersebrangan dengan kehendak Allah Swt. dan tidak mendatangkan mashlahat bagi umat manusia.

Dan sebetulnya menghindari ijtihad adalah langkah yang paling selamat. Namun, kebutuhan umat pada jawaban dari persoalan yang mereka hadapi merupakan faktor yang mesti dipertimbangkan oleh ulama yang sudah sampai ke level ini. Sekelas Imam Ahmad bin Hanbal lebih suka membebankan pertanyaan yang dialamatkan padanya kepada ulama lainnya. Beliau pernah ditanya tentang suatu masalah, kemudian beliau meresponnya dengan mengatakan,

سَلْ غَيْرَنَا، سَلِ الفُقَهَاءَ، سَلْ أَبَا ثَوْرٍ
[الذهبي، شمس الدين، سير أعلام النبلاء، ٧٥/١٢]

Artinya: "Tanyakanlah (masalah ini) kepada orang lain; Tanyakanlah kepada ahli fikih; Tanyakanlah kepada Imam Abu Tsaur."

Dari jawaban beliau ini, kami ambil dua point: 1. Ketawadukan Imam Ahmad, beliau merasa ada yang lebih layak darinya. 2. Imam Ahmad adalah imamnya ulama hadis, namun mungkin karena masalah yang dihadapkan kepadanya berkaitan dengan fikih, maka perlu perangkat ijtihad yang mungkin pada saat itu ada yang lebih mengunggulinya.

Maka, ijtihad itu bukan pekerjaan dengan hanya bermodal semangat mendapat pahala, akan tetapi bermodal dengan keilmuan yang harus memadai dan memenuhi kriteria.

Seorang mujtahid yang memenuhi kriteria inilah yang diberi penghargaan ketika berijtihad, mereka inilah yang salahnya melahirkan pahala, sebagaimana dalam hadis, Nabi Muhammad saw. bersabda,

«إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ»،
[البخاري، صحيح البخاري، ١٠٨/٩]

Artinya: "Jika seorang hakim (mujtahid) ingin menghukumi sesuatu, kemudian ia berijtihad, dan ijtihadnya benar, maka untuknya dua pahala. Dan jika ia ingin menghukumi sesuatu, kemudian ia berijtihad, dan ternyata ijtihadnya salah (kurang tepat), maka untuknya satu pahala."

Mencapai kebenaran (dalam berijtihad) mendapatkan dua pahala: yaitu satu pahala sebagai balasan jerih payahnya, dan satu pahala lagi karena kebenaran hasil dari ijtihadnya.

Jika salah, mendapat satu pahala: yaitu sebagai balasan kerja kerasnya dalam mengerahkan segala potensi keilmuannya, akan tetapi tidak mendapatkan pahala dari hasil ijtihadnya karena tidak tepat.

Adapun jika orang yang dalam keilmuannya tidak memenuhi kriteria di dalam berijtihad, akan tetapi ia malah memaksakan diri untuk berfatwa maka ia berdosa, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani,

لَو أقدم فَحكم أَو أفتى بِغَيْر علم لحقه الْإِثْم
[ابن حجر العسقلاني، فتح الباري لابن حجر، ٣١٩/١٣]

Artinya: "Kalau disodorkan (pertanyaan) kepadanya, kemudian dia berani menghukumi dan berfatwa dengan tanpa ilmu, maka dia berdosa."

Ibnu Munzir mengatakan,

وانما يُؤجر الْحَاكِم إِذا أَخطَأ إِذا كَانَ عَالما بِالِاجْتِهَادِ فاجتهد وَأما إِذا لم يكن عَالما فَلَا
[ابن حجر العسقلاني، فتح الباري لابن حجر، ٣١٩/١٣]

Artinya: "Dan bahwasanya seorang hakim (mujtahid) diberi pahala apabila salah (dalam ijtihadnya) adalah jika dia merupakan orang yang memiliki perangkat ilmu yang memadai dalam berijtihad. Adapun jika dia tidak memiliki perangkat ilmu untuk berijtihad, maka tidak (mendapatkan pahala tersebut)."

Wallahu a'lam.

==========================


Posting Komentar

0 Komentar